This nice Blogger theme is compatible with various major web browsers. You can put a little personal info or a welcome message of your blog here. Go to "Edit HTML" tab to change this text.
RSS

Saturday 23 August 2014

SENTRA BERMAIN PERAN

Sentra bermain peran adalah pusat belajar bagi anak-anak uisa dini. Anak-anak usia 2-3 tahun, 3-4 tahun, 4-5 tahun menyukai hal-hal yang imajinatif. Anak-anak bermain dalam berpura-pura dan menirukan pengalaman yang di dapat dalam dunia nyatanya. Dalam kegiatan main di sentra main peran anak dapat mengembangakan kemampuannya bersosialisasi, mengikuti prosedur, bereksperimen dan berbahasa.
Di sentra main peran ada tahapan perkembangan yang digunakan sebagai penilaian bagi guru, tahapan perkembangan itu sebagai berikut:

1. Agen Simbolik (diarahkan pada apa/siapa atau siapa yang menerima tindakan).
2. Pengganti Simbolik (menggunakan alat-alat sebagai pemeranya).
3. Kerumitan Simbolik (jumlah dan kerumitan adegan, menggunakan naskah pendek dalam konteks yang sama).
Agen Simbolik 1
Anak pura-pura melakukan kegiatan.
Contoh:
1. Anak pura-pura makan, tidur, atau minum;
2. Anak pura-pura menyisir atau menyikat rambutnya;
3. Anak-anak pura-pura berbicara dengan menggunakan telepon mainan.
Agen Simbolik 2
Anak pura-pura mengarahkan kegiatan sederhana pada temannya atau benda.
Contoh:
1. Anak memberi makan atau memandikan boneka;
2. Anak meletakkan boneka di tempat tidur;
3. Anak mendorong mobil-mobilan di lantai.
Agen Simbolik 3
Anak mengambil peran pura-pura secara aktif, tetapi tidak diarahkan kepada orang lain. Anak juga dapat menentukan peran untuk mainan atau benda. Anak tidak terlalu banyak bertanya untuk main peran. Mencari petunjuk-petunjuk sesuai yang ditentukan. (Misalnya: Anak meletakkan stetoskop di leher dan mendengarkan denyut jantung temannya atau boneka, tetapi tidak berkata “Saya dokter”). Anak dapat memahami tanda-tanda atau mengikuti temannya dalam kelompok main peran. (Contoh: Teman bertindak sebagai pilot pesawat, anak menentukan perannya sebagai penumpang pesawat).
Contoh:

  1. Anak-anak pura-pura menjadi seorang guru dan membaca keras kepada boneka, teman lainnya, atau hanya pura-pura seseorang mendengarkan;
  2. Pura-pura menjadi binatang;
  3. Pura-pura menjadi sopir mobil;
  4. Pura-pura memainkan kuda-kudaan kecil berlari ke kandang atau makan rumput kering (peran mikro).

Agen Simbolik 4
Anak tidak mengambil peran aktif, tetapi sebagai sutradara. Anak sebagai sutradara dengan mengarahkan teman atau mainan lainnya sebagai pelakunya. Ia mengatur tindakan dan memberitahukan pada temannya apa yang harus dilakukan (terlihat sebagai pemimpin).
Contoh:

  1. Anak pura-pura menjadi ibu yang memberi makan boneka bayi;
  2. Anak berlagak seperti seorang sutradara, memberitahu temannya apa yang harus dilakukannya.

Pengganti Simbolik 1
Anak menggunakan benda nyata, dengan cara yang tepat, untuk menirukan sebuah kegiatan.
Contoh:

  1. Berpura-pura makan dengan menggunakan sendok betulan;
  2. Menggunakan baju dan sepatu untuk berperan menjadi ibu;
  3. Menggunakan telepon sungguhan untuk berpura-pura berbicara.

Pengganti Simbolik 2
Anak menggunakan alat yang sesungguhnya untuk menirukan fungsi benda dengan tepat. Alat dapat berbentuk seperti benda aslinya walaupaun dalam ukuran kecil.
Contoh:

  1. Pura-pura memberi makan boneka dengan botol mainan;
  2. Pura-pura menyanyi atau mengayun bonekal
  3. Pura-pura memasak lapisan ikan dalam panci penggoreng;
  4. Pura-pura sedang duduk di bis atau pesawat dengan menggunakan sebuah kursi adalah tempat duduk lainnya.

Pengganti Simbolik 3
Anak menggunakan alat atau benda yang mungkin sama atau berbeda dengan benda yang sesungguhnya.
Contoh:

  1. Menggunakan sepotong kayu sebagai lilin;
  2. Menggunakan tempat tidur sebagai kendaraan;
  3. Menggunakan kayu sebagai kuda.

Pengganti Simbolik 4
Anak tidak menggunakan benda untuk bermain peran atau benda hayalan yang tidak ada secara fisik. Pura-pura bermain dengan sesuatu yang tidak ada. Anak bercakap dengan peran pura-pura.
Contoh:

  1. Minum dari cangkir hayalan;
  2. Berbicara pada telepon hayalan dengan pegangan tangan ke telinga;
  3.  Pura-pura makan biskuit atau kue (yang tidak nampak);
  4.  Pura-pura menjadi gajah, menggunakan tangan sebagai belalai.

Kerumitan Simbolik 1
Satu tindakan/adegan yang terpisah dengan benda, teman, atau diri sendiri.
Contoh:

  1. Pura-pura minum atau makan atau tidur;
  2. Pura-pura mengendarai truk pasir;
  3. Pura-pura berbicara menggunakan telepon;
  4. Bergaya merangkak pura-pura menjadi kucing/anjing, dll.

Kerumitan Simbolik 2
Satu tindakan/adegan pada dua atau lebih benda atau teman-temannya dengan menggunakan benda atau gagasan yang sama. Tindakan sama diulang-ulang dengan benda atau teman-teman yang berbeda.
Contoh:

  1.  Pura-pura makan lalu menyuap boneka atau temannya;
  2.  Pura-pura menyikat rambut sendiri, lalu boneka atau temannya;
  3.  Pura-pura mengisi air ke dalam cangkir;
  4.  Pura-pura memeriksa karcis dari teman-temannya.

Kerumitan Simbolik 3
Tindakan/adegan yang berhubungan. Dua atau lebih tindakan yang berhubungan dalam tema main pura-pura yang sama. Anak dapat dapat keluar dan masuk kembali ke peran tertentu. Dalam bermain mencakup dua atau lebih tindakan yang berhubungan.
Contoh:

  1. Mengaduk dan menuangkan minuman lalu meminumnya;
  2. Mengisi keranjang dengan pasir, mengeluarkan pasir untuk membentuk “kue ulang tahun”, meletakkan batang lilin di atasnya dan menyanyi “Selamat Ulang Tahun”;
  3. Mencuci baju, membilasnya, dan menjemurnya di tali jemuran;
  4. Memakai celemek, memasak makanan di kompor, menaruh makanan di piring lalu ditaruh di meja.

Kerumitan Simbolik 4
Anak memainkan keseluruhan naskah atau naskah hidup. Naskah dapat menjadi nyata atau hayalan di mana urutan-urutan tindakan simbolik berkaitan dengan tema. Anak tidak keluar dari peran. Tindakan membutuhkan beberapa pengelolaan dan perencanaan awal. Anak secara jelas bermain pada tema dan tetap bertahan dalam bermain peran sampai selesai.
Contoh:

  1.  Naskah waktu makan: Memasak makanan, menyediakan, dan makan;
  2.  Naskah Bayi: Memandikan, mengenaikan baju, memberi makan, mengayun, dan meletakkan bayi ke tempat tidur;
  3. Naskah rumah makan: Duduk di rumah makan, memesan makanan, dan makan.

Selain itu ada tahap perkembangan sosial :

Tahap 1:
Perilaku Tidak Peduli
Anak tidak bermain, tetapi menunjukkan “perilaku tidak peduli.”

Tahap 2:
Perilaku sebagai Penonton
Anak memperhatikan anak lain yang sedang bermain. Mereka mungkin berkomunikasi secara lisan, tetapi tidak ikut bermain.

Tahap 3:
Bermain Sendiri
Anak mulai bermain, tetapi sendiri, sepenuhnya ia mengatur diri sendiri.

Tahap 4:
Bermain Berdampingan
Anak bermain dekat dengan anak lainnya, tetapi mereka bermain sendiri-sendiri. Mungkin mereka merasa senang dengan kehadiran anak lainnya, tetapi belum bekerjasama.

Tahap 5:
Bermain Bersama
Anak bermain bersama dengan anak lainnya dalam satu kelompok. Mereka mungkin bertukar bahan main, tetapi tidak ada tujuan yang direncanakan (belum bekerjasama).

Tahap 6:
Bermain Bekerjasama
Anak bermain bersama dengan anak lain dan memiliki tujuan yang direncanakan. Mereka bekerjasama dan saling berperan.

Kegiatan main di sentra main peran:

main peran makro


main peran mikro

Sayangilah Sewajarnya

Memiliki seorang anak adalah sebuah amanah dari Allah. Anak titipan dari sang pemberi kehidupan yang perlu dijaga, dirawat dan didik. Namun, kadang dalam proses menjaga, merawat, dan mendidik itu orang tua sebagai pihak penerima amanah mempunyai rasa tanggungjawab yang terlalu besar sehingga terlalu sayang, sehingga anak merasa terlayani dan akhirnya sulit lepas dari ibu khususnya.
Ketika semua terpenuhi oleh ibu, anak menjadi kurang mandiri dan tergantung pada ibu.
Waktu anak memasuki masa-masa awal sekolah, anak begitu sangat tergantung pada sang ibu sehingga sulit untuk berpisah dari ibu. Masa-masa inilah, masa tersulit bagi anak untuk berpindah dari rumah ke sekolah. Anak berada di lingkungan baru dan orang-orang baru. Anak terlepas dari zona amannya dan harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Saat inilah peran ibu sangat besar, ibu yang terlalu sayang pada si anak pasti akan merasa berat untuk melepas anaknya, dan begitu juga si anak akan merasa lingkungan ini tidak nyaman, dan akan "menangis".
Ketika melihat anak menangis ibu akan gundah (sedih, kasian), bantuanlah yang akan datang disitulah anak akan melihat celah untuk memanipulasi sikapnya. "Aku nangis mama datang", aku nangis, aku dibantu mama". Kalau hal itu terus terjadi kapan anak akan mandiri??.
Seorang ibu seharusnya sudah punya keyakinan, 1) menangis itu untuk meluapkan emosi, 2) menangis membuat tubuh anak akan sehat karena semua badannya ikut bergerak, 3) Menangis tidak membahayakan anak. Dengan mempunyai keyakinan seperti itu ibu akan siap untuk mengajak anak belajar dilingkungan baru yaitu sekolah. Masa transisi dari rumah ke Sekolahpun akan berjalan dengan lancar. Dan anak akan mudah untuk beradaptasi.
Menyayangi terlalu berlebihan membuat anak tidak mandiri. Sayangi anak dengan sewajarnya, sesuai kebutuhan anak. Bantuan yang berlebihan membuat anak-anak sulit untuk berkembang. "Ibu yang baik,  adalah ibu yang tahu kebutuhan anaknya, ibu yang baik, ibu yang memberi kesempatan anaknya untuk belajar, walaupun itu sulit bagi anak untuk melakukan.
Ibu, tak selamanya engkau menemani anak-anakmu, memanjakannya seperti dia masih bayi. Dia akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa. Demi membantu anakmu dikemudia hari fasilitasi dia sesuai kebutuhannya. Upaya ini akan berguna baginya suatu saat nanti, di saat engkau tak mampu selalu membantunya untuk memenuhi kebutuhanya dan bertahan dalam setiap masalah dan kesulitan dalam hidupnya.
Educating our children is not just about imposing a body of knowledge on them. Rather, it involves preparing children from the early years for the world in which they will come of age. It means instilling a love for lifelong learning, creativity, self-expression and an appreciation for diversity.

Mendidik anak-anak kita bukan berarti mengajarkan kepada mereka sekumpulan ilmu pengetahuan semata. 
Lebih penting lagi, mendidik berarti mengajarkan kepada anak-anak kita sejak usia dini, kemampuan untuk siap dan mampu menghadapi tantangan dunia masa depan yang akan menjadi ajang hidup mereka nantinya.